SSR (Solid State Relay)

21.51 Add Comment
ssr-dc-ac-45a.jpg (255×267)

Pengertian Solid State Relay


Pengertian dan fungsi solid state relay sebenarnya sama saja dengan relay elektromekanik yaitu sebagai saklar elektronik yang biasa digunakan atau diaplikasikan di industri-industri sebagai device pengendali. Namun relay elektro mekanik memiliki banyak keterbatasan bila dibandingkan dengan solid state relay, salah satunya seperti siklus hidup kontak yang terbatas, mengambil banyak ruang, dan besarnya daya kontaktor relay. Karena keterbatasan ini, banyak produsen relay menawarkan perangkat solid state relay dengan semikonduktor modern yang menggunakan SCR, TRIAC, atau output transistor sebagai pengganti saklar kontak mekanik. Output device (SCR, TRIAC, atau transistor) adalah optikal yang digabungkan sumber cahaya LED yang berada dalam relay. Relay akan dihidupkan dengan energi LED ini, biasanya dengan tegangan power DC yang rendah. Isolasi optik antara input dan output inilah yang menjadi kelebihan yang ditawarkan oleh solid state relay bila dibanding relay elektromekanik.
http://trikueni-desain-sistem.blogspot.com/2014/03/Pengertian-Solid-State-Relay.html


Solid state relay itu juga berarti relay yang tidak mempunyai bagian yang bergerak sehingga tidak terjadi aus. Solid state relay juga mampu menghidupkan dan mematikan dengan waktu yang jauh lebih cepat bila dibandingkan dengan relay elektromekanik. Juga tidak ada pemicu percikan api antar kontak sehingga tidak ada masalah korosi kontak. Namun solid state relay masih terlalu mahal untuk dibuat dengan rating arus yang sangat tinggi. Sehingga, kontaktor elektromekanik atau relay konvensional masih terus mendominasi aplikasi-aplikasi di industri saat ini.

Salah satu keuntungan atau kelebihan yang signifikan dari solid state relay SCR dan TRIAC adalah kecenderungan secara alami untuk membuka sirkuit AC hanya pada titik nol arus beban. Karena SCR dan TRIAC adalah thyristor, dengan sifat hysteresisnya mereka mempertahankan kontinuitas sirkuit setelah LED de-energized sampai saat AC turun dibawah nilai ambang batas (holding current). Secara praktis apa artinya semua ini, artinya adalah rangkaian tidak akan pernah terputus ditengah-tengah puncak gelombang sinus. Waktu pemutusan seperti yang ada dalam rangkaian yang mengandung induktansi besar biasanya akan menghasilkan lonjakan tegangan besar karena runtuhnya medan magnet secara tiba-tiba di sekitar induktansi. Hal seperti ini tidak akan terjadi saat pemutusan dilakukan  oleh sebuah SCR atau TRIAC. Kelebihan fitur ini disebut zero-crossover switching.

Salah satu kelemahan dari solid state relay adalah kecenderungan mereka untuk gagal menutup  kontak output mereka. Jika relay elektromekanik cenderung gagal saat membuka, solid state relay cenderung gagal saat menutup. Selain harganya mahal mungkin karena kelemahan gagal menutup inilah yang menjadi pertimbangan untuk memakai solid state relay. Dan karena gagal saat membuka dianggap lebih aman dari pada gagal saat menutup, relay elektromekanik masih lebih disukai dibanding solid state relay dalam banyak aplikasi di industri.
Pada dasarnya Solid state relay (SSR) merupakan relay yang dapat didiskripsikan sebagai berikut :
  • Mempunyai empat buah terminal, 2 input terminal dan 2 buah output terminal.
  • Tegangan input dapat berupa tegangan AC atau DC.
  •  Antara output dan input diisolasi dengan sistem optikal.
  • Output menggunakan keluarga thyristor, SCR untuk beban DC dan TRIAC untuk beban AC.
  • Switching ON, yang sering disebut ‘firing’, solid state relay hanya bisa terjadi pada saat tegangan yang masuk ke output pada level yang sangat rendah mendekati nol volt.
  • Output berupa tegangan AC (50 Hz atau 60 Hz).

Blok Diagram Solid-State Relay (SSR)

Diagram Blok Solid STate Relay,harga solid state relay,harga ssr,jual solid state relayDiagram Blok Solid STate Relay

Keuntungan Dan Kerugian Penggunaan Solid-State Relay

Penggunaan solid state relay mempunyai beberapa keuntungan yang menyebabkan solid-state relay saat ini menarik untuk digunakan pada aplikasi-aplikasi kontrol untuk beban AC daripada digunakannya relay mekanik (Electromechanical Relay, EMR), walaupun biaya sebuah solid-state relay lebih mahal daripada biaya sebuah relay mekanik biasa.

Prinsip Kerja Solid State Relay

Proses Kerja Solid-State RelayProses Kerja Solid-State Relay

Keuntungan Solid-State Relay :

  1. Pada solid-state relay tidak terdapat bagian yang bergerak seperti halnya pada relay. Relay mempunyai sebuah bagian yang bergerak yang disebut kontaktor dan bagian ini tidak ada pada solid-state relay. Sehingga tidak mungkin terjadi ‘no contact’ karena kontaktor tertutup debu bahkan karat.
  2. Tidak terdapat ‘bounce’, karena tidak terdapat kontaktor yang bergerak paka pada solid-state relay tidak terjadi peristiwa ‘bounce’ yaitu peristiwa terjadinya pantulan kontaktor pada saat terjadi perpindahan keadaan. Dengan kata lain dengan tidak adanya bounce maka tidak terjadi percikan bunga api pada saat kontaktor berubah keadaan.
  3. Proses perpindahan dari kondisi ‘off’ ke kondisi ‘on’ atau sebaliknya sangat cepat hanya membutuhkan waktu sekitar 10us sehingga solid-state relay dapat dengan mudah dioperasikan bersama-sama dengan zero-crossing detektor. Dengan kata lain opersai kerja solid-state relay dapat disinkronkan dengan kondisi zero crossing detektor.
  4. Solid-State relay kebal terhadap getaran dan goncangan. Tidak seperti relay mekanik biasa yang kontaktornya dapat dengan mudah berubah bila terkena goncangan/getaran yang cukup kuat pada body relay tersebut.
  5. Tidak menghasilkan suara ‘klik’, seperti relay pada saat kontaktor berubah keadaan.
  6. Kontaktor output pada solid-state relay secara otomatis ‘latch’ sehingga energi yang digunakan untuk aktivasi solid-state relay lebih sedikit jika dibandingkan dengan energi yang digunakan untuk aktivasi sebuah relay. Kondisi ON sebuah solid-state relay akan di-latc sampai solid-state relay mendapatkan tegangan sangat rendah, yaitu mendekati nol volt.
  7. Solid-State relay sangat sensitif sehingga dapat dioperasikan langsung dengan menggunakan level tegangan CMOS bahkan level tegangan TTL. Rangakain kontrolnya menjadi sangat sederhana karena tidak memerlukan level konverter.
  8. Masih terdapat couple kapasitansi antara input dan output tetapi sangat kecil sehingga arus bocor antara input output sangat kecil. Kondisi diperlukan pada peralatan medical yang memerlukan isolasi yang sangat baik.
Keuntungan solid-state relay begitu baik sekali tetapi dibalik keuntungan tersebut terdapat kerugian penggunaan solid-state relay yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaannya.

Kerugian Solid-State Relay Adalah Sebagai Berikut :

  1. Resistansi Tegangan transien. Tegangan yang diatur/dikontrol oleh solid-state relay benar-benar tidak bersih. Dengan kata lain tidak murni tegangannya berupa sinyal sinus dengan tegangan peak to peak 380 vpp tetapi terdapat spike-spike yang dihasilkan oleh induksi motor atau peralatan listrik lainnya. Spike ini level tegangannya bervariasi jika terlalu besar maka dapat merusakkan solid-state relay tersebut. Selain itu sumber-sumber spike yang lain adalah sambaran petir, imbas dari selenoid valve dan lain sebagainya.
  2. Tegangan drop. Karena solid-state relay dibangun dari bahan silikon maka terdapat tegangan jatuh antara tegangan input dan tegangan output. Tegangan jatuh tersebut kira-kira sebesar 1 volt. Tegangan jatuh ini menyebabkan adanya dissipasi daya yang besarnya tergantung dari besarnya arus yang lewat pada solid-state relay ini.
  3. Arus bocor-‘Leakage current’. Pada saat solid-state relay ini dalam keadaan off atau keadaan open maka dalam kondisi yang idel seharusnya tidak ada arus yang mengalir melewati solid-state relay tetapi tidak demikian pada komponen yang sebenarnya. Besarnya arus bocor cukup besar untuk jika dibandingkan arus pada level TTL yaitu sekitar 10mA rms.
  4. Sukar dimplementasikan pada aplikasi multi fasa.
  5. Lebih mudah rusak jika terkena radiasi nuklir.

Rangkaian Solid State Relay

Rangkaian Solid State Relay,skema Solid State RelayRangkaian Solid State Relay
Pada solid-state ralay, switching unit-nya biasanya menggunakan TRIAC sehingga solid-state relay ini dapat mengalirkan arus baik arus positif maupun arus negatif. Walaupun demikian untuk mengontrol TRIAC ini digunakan SCR yang mempunyai karakteristik gate yang sangat sensitif. Kemudian untuk mengatur trigger pada SCR sendiri diatur dengan menggunakan rangkaian transistor. Rangkaian transistor ini menjadi penguat level tegangan yang didapat dari optocoupler. Penggunaan SCR untuk mengatur gate TRIAC karena gate SCR mempunyai karakteristik yang lebih sensitif daripada gate TRIAC.
Antara bagian input dan output dipisahkan dengan menggunakan optocoupler dan dengan sinyal yang kecil, cukup untu menyalakan diode saja, maka cukup untuk menggerakkan sebuah bebab AC yang besar melalui solid-state relay.

Daerah Pengaktifan Solid-State Relay

Rangkaian kontrol merupakan rangkaian kontrol biasa, seperti pada umumnya. Fungsi logika AND, pada blok diagram rangkaian internal SSR, dibangun dari dua buah transistor Q1 dan Q2 yang bekerja untuk menghasilkan logika inverted NOR. Q1 akan melakukan ‘clamps’ jika optocoupler OC1 dalam keadaan off. Q2 akan melakukan ‘clamps’ jika tegangan bagi antara R4 dan R5 cukup untuk mengaktifkan transistor Q2. Sehingga Q2 akan melakukan clamp pada SCR jika tegangan anode SCR lebih dari 5 volt.
Jika OC1 ‘ON’ maka Q1 akan OFF sehingga Q1 tidak melakukan clamp pada SCR. SCR akan aktif jika Q2 juga dalam kondisi OFF. Kondisi ini terjadi pada saat terjadinya zero crossing. Penambahan kapasitor C2 bertujuan untuk menghindari kemungkinan SCR di trigger berulang-ulang. C1 berguna untuk menyediakan arus yang cukup untuk sumber tegangan sementara pada saat terjadinya ‘firing’ pada gate SCR, selain itu C1 juga berfungsi untuk menghindari kondisi ditriggernya gate SCR berulang-ulang.
Penambahan C1 dan C2 akan menghindari trigger SCR pada saat tegangan anode SCR turun (down slope), kondisi ini memang tidak diharapkan. Komponen D2 akan memperbolehkan gate SCR di-reverse bias untuk menghasilkan kekebalan terhadap noise. D1 berfungsi untuk melindungi tegangan input yang berlebihan di atas rating tegangan optocoupler OC1. Komponen SCR yang digunakan, jika ingin membangun sebuah SSR sendiri, adalah SCR dengan tipe 2N5064, 2N6240.
TRIAC yang digunakan adalah 2N6343 dengan C11 sebesar 47nF dengan tegangan disesuaikan dengan rating tegangan aplikasi TRIAC dan diode yang mentrigger gate TRIAC ini harus 1N4004.
TRIAC merupakan komponen yang terdiri dari 2 buah SCR yang terpasang paralel tetapi terbalik. Kondisi ini menyebabkan timbulnya masalah pada beban induktif yaitu pada saat kondisi turn-off TRIAC. TRIAC harus mati pada saat setiap ½ cycle yaitu pada saat tegangan jala-jala PLN mendekati nol volt. TRIAC harus melakukan bloking tegangan pada saat tegangan mulai mencapai 1-2 volt dalam keadaan tegangan inverse. Kejadian ini terjadi sekitar 30us pada rate frekuensi jala-jala 60Hz. Pada beban induktif TRIAC tidak sempat dalam kondisi benar-benar OFF untuk dapat ditrigger kembali. Kejadian ini akan menyebabkan TRIAC pada beban induktif tertentu akan menyebabkan TRAIC tidak dapat OFF dan kontrol tidak akan berfungsi untuk mengontrol TRIAC ini kecuali dengan jalan memutuskan aliran arus yang menuju terminal TRAIC ini secara manual.
Untuk menghindari kejadian seperti ini maka output sebuah solid-state relay harus ditambahkan sebuah rangkaian snubber jika solid-state relay ini digunakan untuk beban yang bersifat induktif.
Walaupun demikian dapat digunakan solid-state relay yang komponen output unitnya berupa SCR. SCR lebih mudah digunakan dalam mengontrol beban induktif, walaupun demikian untuk amannya sebuah sistem kontrol maka perlulah dipertimbangkan untuk diberikannya sebuah rangkaian snubber pula untuk beban induktif.
Walaupun solid-state relay dengan SCR maupun TRAIC- nya yang membuat perlunya sedikit pertimbangan dalam pemberian rangkaian snubber pada beban induktif, solid-state relay secara umum lebih baik pada penggunaanya terutama untuk aplikasi yang membutuhkan isolasi antara input dan output yang baik. Pada aplikasi rangkaian tertentu yang membutuhkan kemampuan lebih Solid State Relay (SSR) Relay sebagai pilihan walaupun lebih mahal harga sebuah solid state relay dibanding relay mekanik.

Pneumatik

00.43 Add Comment
Pneumatik merupakan teori atau pengetahuan tentang udara yang bergerak, keadaan-keadaan keseimbangan udara dan syarat-syarat keseimbangan. Perkataan pneumatik berasal bahasa Yunani “ pneuma “ yang berarti “napas” atau “udara”. Jadi pneumatik berarti terisi udara atau digerakkan oleh udara mampat. Pneumatik merupakan cabang teori aliran atau mekanika fluida dan tidak hanya meliputi penelitian aliran-aliran udara melalui suatu sistem saluran, yang terdiri atas pipa-pipa, selang-selang, gawai dan sebagainya, tetapi juga aksi dan penggunaan udara mampat.

Pneumatik menggunakan hukum-hukum aeromekanika, yang menentukan keadaan keseimbangan gas dan uap (khususnya udara atmosfir) dengan adanya gaya-gaya luar (aerostatika) dan teori aliran (aerodinamika). Pneumatik dalam pelaksanaanteknik udara mampat dalam industri merupakan ilmu pengetahuan dari semua proses mekanik dimana udara memindahkan suatu gaya atau gerakan. Jadi pneumatik meliputi semua komponen mesin atau peralatan, dalam mana terjadi proses-proses pneumatik. Dalam bidang kejuruan teknik pneumatik dalam pengertian yang lebih sempit lagi adalah teknik udara mampat (udara bertekanan).

Komponen-komponen Pneumatik

Komponen pneumatik beroperasi pada tekanan 8 s.d. 10 bar, tetapi dalam praktik dianjurkan beroperasi pada tekanan 5 s.d. 6 bar untuk penggunaan yang ekonomis. 
Beberapa bidang aplikasi di industri yang menggunakan media pneumatik dalam hal penangan material adalah sebagai berikut :
a. Pencekaman benda kerja
b. Penggeseran benda kerja
c. Pengaturan posisi benda kerja
d. Pengaturan arah benda kerja

Penerapan pneumatik secara umum :
a. Pengemasan (packaging)
b. Pemakanan (feeding)
c. Pengukuran (metering)
d. Pengaturan buka dan tutup (door or chute control)
e. Pemindahan material (transfer of materials)
f. Pemutaran dan pembalikan benda kerja (turning and inverting of parts)
g. Pemilahan bahan (sorting of parts)
h. Penyusunan benda kerja (stacking of components)
i. Pencetakan benda kerja (stamping and embosing of components)

Susunan sistem pneumatik adalah sebagai berikut :
a. Catu daya (energi supply)
b. Elemen masukan (sensors)
c. Elemen pengolah (processors)
d. Elemen kerja (actuators)

19.22 Add Comment

Bisnis FotoCopy memang terdengar sangat menjanjikan, hal ini terjadi karena sistem pendidikan dan pemerintahan indonesia masih menggunakan kertas sebagai bahan mereka menyimpan arsip, Omset yang bisa dihasilkan dari usaha fotocopy ini bisa mencapai jutaan , bahkan puluhan juta rupiah perbulannya, itu semua tergantung bagaimana anda mengelola dan seberapa besar modalusaha yang anda. Peluang usaha  fotocopy bisa menjadi salah satu usaha sampingan yang bisa anda jalankan sembari bekerja ditempat lain.

Bisnis FotoCopy merupakan salah satu bisnis yang sepertinya tidak akan pernah ada matinya, dalam bisnis ini target market anda sangat jelas dan luas. Mulai dari Anak Tk, SD sampai kepada orang tuapun akan membutuhkan fotocopy untuk menggandakan dokumen yang mereka perlukan.

Tips Menjalankan Usaha Fotocopy
Usaha Fotocopy adalah usaha yang bisa dijalankan oleh siapa saja dan dimana saja, namun demikian ada pertimbangan-pertimbangan yang harus diingat, Pertama usaha Fotocopy satu ini butuh kelihaian anda melihat peluang pasar yang jelas, sebelum anda membuka usaha fotocopy, anda butuh lokasi yang strategis. Pusat Perkantoran, Sekolahan, Kampus, Instansi pemerintah, dan masih banyak lagi tempat strategis untuk membuka usaha fotocopy, agar menghasilkan penghasilan yang tinggi untuk anda. Kedua ialah tentu saja modal, tidak sedikit uang yang dibutuhkan untuk menjalan bisnis Fotocopy ini, modal bisa dari pinjaman atau biar lebih tenang kumpulin uang untuk modal bisnis FotoCopy ini (toh semuanya jadi punya kita).

Yang perlu diperhatikan calon pengusaha fotocopy adalah hasil dari fotocopyan, hasil fotocopy mesin fotocopy anda akan sangat berpengaruh kepada kepuasan pelanggan. Untuk lebih bagusnya sih kalau memiliki modal yang cukup, lebih baik membeli mesin fotocopy terbaru yang tentunya akan menghasilkan kualitas cetakan lebih bagus juga. Namun , jika anda hanya memiliki modal kecil, maka tidak ada salahnya membeli mesin fotocopy bekas saja, yang harga mesin fotocopy yang bisa dicek melalui online. Selain itu, sediakan atk lengkap untuk memenuhi kekosongan tempat yang ada di tempat fotocopy anda.

Perkiraan Modal Usaha Fotocopy
Berbicara mengenai Peluang Usaha fotocopy, tentunya anda akan mencari tau tentang Modal Usaha Fotocopy, Berikut ini kami akan memberikan analisa ringkas mengenai Modal Usaha FotoCopy.
Nama
Harga
Sewa Tempat
Rp. 10.000.000
Etalase
Rp. 900.000
2 Mesin FotoCopy Bekas
Rp. 25.000.000
1 Unit Komputer
Rp. 6.000.000
Mesin Laminating
Rp. 1.500.000
1 Unit Printer
Rp. 800.000
Peralatan ATK (untuk di Jual)
Rp. 10.000.000
1 Unit Meja & Kursi Komputer
Rp. 1.000.000
TOTAL MODAL 
Rp. 55.200.000

Biaya Bulanan Dalam Usaha FotoCopy

Gaji Karyawan 2 Orang
Rp. 2.000.000
Bahan Baku
Rp. 2.000.000
Listrik , Air dll
Rp. 500.000

Prospek Usaha Fotocopy
Berikut ini contoh perhitungan kasar usaha fotocopy ini.
Jika saja 1 lembar fotocopy anda membuka harga di Rp. 150,- / lembarnya.
Dengan asumsi tingkat keramaian sedang, kita misalkan dalam 1 hari menghabiskan 10 rim kertas.
Maka Total Omset perhari anda adalah :
5 rim x 500 lembar = 2.500 lembar
Maka 1 hari menghasilkan Rp. 150,-   X 2.500 = Rp. 125.000,- / hari
Total penghasilan perbulan adalah Rp. 3.750.000,-
Penghasilan di atas, hanyalah dari Usaha fotocopy saja, belum termasuk print, Scan, pengetikan dan sebagainya. Jika saja dari yang lain-lainnya menghasilkan Rp. 1.000.000,- per bulannya. Maka Total omset bulanan adalah sebesar Rp. 4.750.000,- / bulan.
Biaya operasional perbulan yang harus dikeluarkan adalah Sebesar Rp. 2.500.000,-
Maka total penghasilan bersih perbulan adalah sebesar Rp. 2.250.000,-
Yang mana anda masih bisa bekerja dan tidak menghabiskan waktu anda. Usaha fotocopy ini sangat cocok untuk anda yang berada di daerah perkotaan, atau didaerah-daerah yang memiliki banyak perkantoran dan  sekolah, maupun kampus-kampus. Bisnis fotocopy ini akan mengalami pelonjakan omset pada masa-masa saat mahasiswa menyusun skripsi, thesis dsb.


Heaven over Hospital

08.25 Add Comment

Julianna Snow is dying of an incurable disease. She's stable at the moment, but any germ that comes her way, even just the common cold virus, could kill her. She's told her parents that the next time this happens, she wants to die at home instead of going to the hospital for treatment.
If Julianna were an adult, there would be no debate about her case: She would get to decide when to say "enough" to medical care and be allowed to die.
But Julianna is 5 years old. Should her parents have let her know how grave her situation is? Should they have asked her about her end-of-life wishes? And now that those wishes are known, should her parents heed them?
Missing milestones, and a medical mystery
When she was 9 months old, Julianna's parents noticed she couldn't sit up steadily, something most babies can do around 6 months. At her first birthday, when children typically start to walk, Julianna couldn't even pull herself up into a standing position.
This worried Michelle Moon, as a mother and as a neurologist. "The worst thing in the world for a neurologist is to not hit your milestones," she says. "But I tried really hard not to overreact and freak out."
Julianna's pediatrician said she was likely just a late walker and would catch up soon. Five percent of children, he noted, don't walk until they're 18 months old.
Michelle wanted to believe him, but her mother's intuition, or perhaps her neurologist's training, told her this was something more worrisome. She set out to do her own research, which was lonely work, because her husband, Steve Snow, an Air Force pilot, was on a three-month deployment to Korea.
With Julianna's symptoms -- her developmental delays and her somewhat floppy arms and legs -- this is what kept popping up: spinal muscular atrophy, a hereditary disease where neurons in the brain and spinal cord are progressively destroyed. Many children with the disease don't live to see their second birthday.
To get spinal muscular atrophy, a child must inherit a defective gene from both parents. Michelle had herself tested and didn't have the gene. She was relieved, but stumped. By now Julianna was 1½ and couldn't walk without the help of a walker, and then only for short distances. Her doctors were mystified, too. Then Michelle remembered her husband's funny-looking feet.

Dying = hampir mati
Incurable = tak tersembuhkan
Disease = penyakit
Stable = stabil
Germ = kuman
Instead = sebagai gantinya
Treatment = pengobatan

Decide = memutuskan



Grave = parah, suram (adj)
Heed = mengindahkan
Wishes = keinginan


Milestone = kejadian penting
Steadily = terus-menerus
Even = menyeimbangkan (v)
Pull = menjajarkan

Worry = mencemaskan, kuatir
Neurologist = ahli saraf
Worst = terburuk
Milestones = tonggak
Freak out = ketakutan

Peditrician = dok. Peny. Anak

Intuition = intuisi, naluri
Perhaps = mungkin
Worrisome = mencemaskan
Deployment = penyebaran

Symtom = gejala, tanda
Developmental= pengembangan
Somewhat = agak, sedikit
Floppy = yg terkulai, tdk kaku
Popping = bermunculan
Kept = terus
Spinal muscular = otot tulang belakang
Atrophy = terhentinya pertumbuhan
Hereditary = warisan
Spinal cord = saraf tulang belakang
Progressively = makin, bertahap

Inherit = mewarisi
Defective = cacat
Relieve = meringankan
Stump = tunggul
Mystified = bingung

A diagnosis, inherited


In spring 2004, after flying fighter jets over Baghdad and Kuwait, Air Force Capt. Steve Snow was assigned to Osan Air Base in South Korea. On his first day, not knowing a soul, he headed to the officers' club in search of company.
That's when she walked in: Capt. Michelle Moon, the flight surgeon for his squadron.
Michelle expected Steve to be wary of her, as pilots often don't trust the doctors who have the power to ground them. But unlike some other pilots she'd met, Steve was friendly. As they got to know each other, she found him dependable and trustworthy. She sensed in him, she says, a genuine goodness.
The two fell in love and were married in 2006. Two years later, their son Alex was born, and Julianna came along two years after that on August 25, 2010.
Over the years, Michelle had never given her husband's feet much thought, except to occasionally notice that they were sort of odd looking, with high arches.
But as Michelle searched for the cause of their daughter's slow development, Steve's funny-looking feet became the key to solving their daughter's mystery.
High arches, Michelle remembered, can sometimes be a sign of Charcot-Marie-Tooth disease, a neurodegenerative illness awkwardly named for the French and British doctors who discovered it nearly 130 years ago.
Poor reflexes can be a sign, too, so Michelle took her reflex hammer to her husband's Achilles tendon. His foot should have responded with a little jerk. But it didn't move at all. "I thought, uh-oh. You can not have reflexes at 60 or 70, but in your mid-30s?" she remembers.
Michelle brought her husband into her office during lunch hour and attached electrodes to his arms and legs. She found his nerves were slow at sending impulses to his muscles. Another neurologist confirmed her findings and diagnosed Steve with CMT.
At first it seemed unbelievable -- Steve had been athletic his entire life and now flew fighter jets for a living. Countless doctors had examined him over the years for flight physicals. How could he possibly have nerve damage in his arms and legs? But CMT can sometimes be so mild that it goes unnoticed, even by the person who has it and the doctors examining him.
By some awful quirk of genetics, Steve's mild case of CMT had manifested as a severe case in his daughter.
In fall 2012, just after Julianna turned 2, Steve and Michelle brought her to the University of Iowa to see Dr. Michael Shy, one of the world's leading experts on CMT. He explained that the myelin sheath covering her nerves had never formed correctly, and so underneath, her nerves were degenerating, as a wire frays if the insulation around it breaks down.
The severity of CMT depends on the specific genetic mutation that has caused it. Shy tested Julianna and couldn't find anything amiss, so he sent her DNA to a specialized genetics lab at the University of Miami for a wider search. They couldn't find anything definitive, either.
This didn't mean Julianna didn't have CMT; scientists just haven't discovered her particular variation. Without knowing what genetic mutation was causing her disease, it was hard to give Michelle and Steve a prognosis.
Maybe, just maybe, she would walk by age 3, in about a year. He had seen it happen.
Watching her daughter's decline, Michelle doubted it. But she prayed he was right.

The 'slow-motion horror story'


By longstanding tradition, when an Air Force pilot takes his final flight, his colleagues douse him with champagne in celebration as he emerges from the cockpit. Steve had decided to leave the Air Force and his "fini flight," as it's called, was set for Davis-Monthan Air Force Base in Tucson, Arizona, where the Snow family had recently moved from Texas. It was January 30, 2013, about three months after their visit in Iowa with Shy.
Steve didn't want to stop flying, but being an Air Force pilot means working long hours and transferring frequently from base to base. Steve's family needed him and it would be much better if they could live in one place, near extended family who could help. Julianna was getting sicker and sicker and required more attention. Alex, a 4-year-old bundle of energy, needed attention, too.
Later, Michelle would write in a blog that Steve "sacrificed a career he loved to become Julianna's main caregiver. ...(He) is simply the most decent human being I know. ... He is my rock star."
As the last bottle of champagne rained down, Steve became sad, thinking about how he would never again fly the A-10 jet, his favorite aircraft.
He looked out into the crowd for a supportive smile from Michelle, but he couldn't find her.
He did see Alex and his babysitter, who explained to Steve that Julianna was in the hospital. Steve ran inside to change out of his wet uniform and drove straight there.
Inside, Julianna was having trouble breathing. What had started as a cold had turned into something more sinister. The doctors assured Steve and Michelle that after a round of antibiotics and some supplemental oxygen through a tube in her nose, she should be back home soon.
But that's not the way it turned out. In Michelle's words, a "slow-motion horror story" unfolded as Julianna spent 11 days in the hospital struggling to breathe, most of it in the intensive care unit. She needed more than just a tube of oxygen in her nose; she needed a pressurized mask pumping air into her.
Up until that point, the Charcot-Marie-Tooth disease had weakened only Julianna's arms and legs. Now it was attacking the nerves that controlled her breathing muscles.
The Snow family will always remember Steve's fini flight as the beginning of a new and horrible chapter in their lives.
The worst was yet to come.

The start of tough choices


Dr. Sarah Green was nervous to meet with Steve and Michelle. Just 33 years old and only four years out of her training, she was relatively new to the delicate task of talking to parents of dying children. For difficult discussions like this one, she and her colleagues usually worked in pairs, but on that October day in 2014, there had been a scheduling problem and she was on her own.
Julianna was now 4 and in her third stay in 10 months at Doernbecher Children's Hospital in Portland, Oregon, where Steve and Michelle had moved to be close to Steve's parents.
Up until this point, the family had been action-oriented, getting Julianna fitted for a back brace to fix the scoliosis that had developed as a result of her weak muscles, arranging for braces on her ankles and feet in hopes that she might walk one day, making appointments for physical and occupational therapy.
But none of this was helping her get better. In fact, she was getting worse. At 2, she could sit up unsupported and walk with a walker, but now, she couldn't do either. She once had nearly full use of her arms, but now couldn't even hold a small toy without help. At one point she ate food, but now her chewing and swallowing muscles were so weak, she was fed through a tube in her stomach.
Most significantly, it was getting harder and harder for her to breathe and cough. Repeatedly, mucus was settling in her lungs and causing pneumonia.
The doctors had been able to pull Julianna out of it each time, but by definition, because CMT is a progressive disease, her breathing muscles would only get weaker and weaker. If she got another infection, her doctors weren't sure they'd be able to help.
Green proceeded with the conversation slowly and carefully. She asked Steve and Michelle: If Julianna were to get another infection, would they want to bring her back to the hospital? There was a reasonable chance Julianna would die there after being subjected to painful procedures. Even if she lived, it would likely be for a short time, and she'd likely be sedated, unable to think and talk as she could now.
The other option would be for her to stay home and forgo treatment, in which case Julianna would most certainly die. But she would be dying at home and without painful medical interventions.
There was no right or wrong answer, Green told them. The choice was up to them.

Enduring difficult treatment


For several months after Julianna was discharged from the hospital, her dolls kept needing to be admitted. Julianna assured them there would be no shots or IVs there, just Band-Aids and new toys.
It was the wishful thinking of a 4-year-old, and even she knew it wasn't real. Over and over, she told her parents how much she hated the hospital, especially "NT," or naso-tracheal suctioning.
Several times a day in the hospital, a nurse would put a tube down her nose and throat, forcing it past her gag reflex and into her lungs to suck the mucus out of the tiny pockets in her airways. It was too dangerous to sedate her for the procedure, so Julianna had to feel everything.
The task of doing NT suction often fell to nurse Diana Scolaro, who took care of Julianna during all three of her intensive care unit stays at Doernbecher in 2014. Stronger children usually scream and have to be restrained when someone tries to put the tube down their nose. But Julianna was so weak all she could do was cry.
When she was done, Scolaro would say to Julianna, "Rest now, baby. Maybe you can make it two hours before we have to do it again."
But she seldom lasted that long. "It's not for the faint of heart to take what she took," Scolaro says.
When Julianna told her parents how much she hated NT suctioning, her mother tried to make her understand why they'd done it. "I told her that even though it was really hard in the hospital, it let her get better and come back home to us, so wasn't it worth it?" Michelle remembers.
Julianna would never answer. That's when Michelle decided to have a conversation about heaven.
Michelle asked Julianna, then 4 years old, if she were to get very sick again, did she want to go back for more treatments, or did she want to die at home?
Julianna's answer was loud and clear. She chose heaven over the hospital.

Now Michelle and Steve had to decide: Would they abide by her wishes?


Mengenai Blog Ini

EdukatifSains

Edukatif Sains berisi informasi pengetahuan tentang Belajar Bahasa Inggris dan Ilmu Teknik.